Kreasi Kayu, Batok, dan Bambu

Dengan memakai tiga bahan baku utama, yakni kayu, bambu, dan batok kelapa, Purwono (38) terus berkreasi. Sejak merintis usaha kerajinan pada tahun 2013, dia telah membuat sedikitnya 200 jenis produk kerajinan. Jumlahnya dipastikan bertambah karena kini dia belum berhenti.Purwono menargetkan bisa memproduksi satu jenis produk setiap pekan. Dengan penuh semangat, dia berkreasi untuk menciptakan inovasi baru. Pelaku usaha kriya yang bertempat tinggal di Desa Prajegsari, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu pun menolak membuat perabot yang sudah umum, seperti meja atau kursi.Dia mengolah kayu, bambu, dan tempurung kelapa menjadi piranti penghias rumah dan peralatan makan minum sehari-hari, seperti lampu gantung, lampu meja, gelas, serta beragam tas untuk pria dan wanita. “Saya berupaya membuat produk-produk yang tidak dibuat oleh pelaku usaha lain agar pasar peluang pasar tetap terbuka," kata Purwono.Sehari-hari Purwono melibatkan 4-5 pekerja untuk proses produksi. Mereka dibayar dengan sistem borongan. Pada saat pesanan sedang ramai dan tenaga yang ada kurang memadai, dia sering kali bekerja sama dengan pelaku usaha lain untuk menyelesaikan pesanan lebih cepat.Tak seperti kebanyakan pelaku usaha yang berpromosi dengan mengunggah foto produk di media sosial, Purwono lebih suka memilih cara konvensional. Dia memang cukup sering mengunggah foto dalam status di media sosial, tetapi hal itu dimaksudkan sebagai pemancing, penarik perhatian orang lain untuk bertanya langsung dan datang ke ruang pajang yang dibuka di rumahnya.Kendati demikian, cara konvensional tidak menghalangi upayanya untuk memasarkan produk. Karya Purwono telah dikirim untuk memenuhi permintaan pembeli di berbagai kota/kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali.Dengan cara itu, Purwono mampu mengumpulkan omzet Rp 13 juta hingga Rp 15 juta per bulan.

Purwono merupakan warga asli Desa Prajegsari. Desa itu sejak dulu terkenal sebagai sentra sangkar burung dengan jumlah perajin sangkar burung mencapai ratusan orang pada tahun 1990-an. Oleh karena itu, meskipun terlahir dari keluarga petani, semasa kecil dirinya juga belajar dari tetangga dan teman-teman di kampungnya tentang bagaimana membuat sangkar burung.

Pujian itu memacu Purwono untuk terus berkarya. Saat menginjak bangku sekolah menengah pertama, dia memacu produksi sangkar burung dan menjalankan usaha itu untuk memenuhi semua kebutuhann sekolahnya.Inisiatifnya belajar membuat sangkar burung sudah dimulai sejak duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar. Setelah berlatih sekitar setahun, tetangga yang menjadi tempat dia belajar, memuji hasil karyanya yang dinilai bagus dan rapi.

Dia menjalankan usaha sendirian. Ketika itu, sangkar burung buatannya dia jual dan titip ke tetangga-tetangga sekitar. Setiap 2-3 hari sekali, Purwono merampungkan satu sangkar burung yang laku dijual dengan harga Rp 600 per sangkat.

Setelah lulus sekolah menengah atas, Purwono sempat bekerja di sebuah pabrik tekstil di Tangerang, Banten, selama dua tahun. Hal itu dilakukannya demi mengumpulkan modal untuk membuka usaha sendiri.

Pada tahun 2000, dia pulang kampung dan membuka usaha produksi sangkar burung dengan modal Rp 200.000. Usaha itu berkembang pesat. Dia akhirnya bisa memasarkan produk ke lebih banyak kota/kabupaten di Pulau Jawa.

Selain menjual produk sendiri, ketika itu dia juga membantu memasarkan produk milik rekan-rekannya. Omzetnya saat itu berkisar Rp 3-4 juta per bulan. Namun, pada tahun 2005, usahanya ambruk karena terguncang oleh isu flu burung. Setelah berbulan-bulan tidak mendapatkan pemasukan sama sekali, dia akhirnya banting setir, kembali menjadi buruh pabrik tekstil.

Akan tetapi, dia tidak bisa melupakan aktivitasnya menjalankan usaha. Oleh karena itu, pada tahun 2010, dia pun tetap membuat sangkar burung sebagai usaha sampingan. Bekerja sebagai buruh pabrik dia jalani, tetapi dengan keterpaksaan. Sampai akhirnya dia tidak tahan lagi.

Pada tahun 2013, dia berhenti kerja di pabrik dan memutuskan kembali membuka usaha pembuatan sangkar burung dengan modal Rp 1,5 juta. Namun, permintaan sebanyak sebelumnya.

Purwono terus berupaya menambah variasi produk. Demi menciptakan inovasi baru, dia banyak berjalan-jalan melihat pameran, mengikuti pelatihan, menjalin relasi, serta bertukar ide dan masukan dengan para pelaku usaha kreatif lain di Yogyakarta.

Pada tahun 2015 dia mulai memproduksi 60 jenis produk berbahan kayu dan bambu. Lalu merambah ke bahan baku batok kelapa pada tahun 2017 seiring pengembangan variasi produk. Dia menggali ide dan masukan dari orang lain. Purwono juga melakukan uji coba sendiri dengan bekal ilmu pertukangan yang dipelajari secara otodidak.

Purwono juga berinovasi dengan mencampur bahan baku. Sejak tahun 2017, dia berkolaborasi dengan pelaku usaha kerajinan kulit dan rajut untuk memproduksi tas. Dalam kerja sama ini, pembagian keuntungan dilakukan dengan membagi jumlah produk yang dihasilkan. Separuh produk dijual dengan sebagai produk Purwono dan separuh sisanya dijual dengan merek perajin mitra kerjanya.

Selain untuk berbagi keuntungan dan meningkatkan variasi produk, menurut dia, kolaborasi menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan harga jual. “Bekerja sama dengan perajin lain bisa meningkatkan harga jual hingga dua kali lipat dibandingkan dengan cara biasanya,” ujarnya.

Kompas.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar